Selasa, 18 Agustus 2009

Avian Influenza (AI)

Avian influenza merupakan suatu penyakit viral pada unggas, terutama kalkun dan burung liar, yang tersifat oleh adanya gangguan pernapasan, depresi dan penurunan konsumsi pakan dan minum, penurunan produksi telur dan penurunan tetas telur pada ayam bibit. Avian influenza mempunyai dampak ekonomi yang penting pada industri perunggasan oleh karena adanya mortalitas dan morbiditas yang tinggi, penurunan produksi dan biaya penanggulangan, khususnya biaya sanitasi atau desinfeksi. Selain itu virus ini bersifat zoonosis sehingga perlu penanggulangan yang semakin komplek dan mahal (Tabbu, 2000).

Pada Januari 2004, di beberapa propinsi di Indonesia terutama Bali, Botabek, Jawa Timur, Jawa Tengah, Kalimantan Barat dan Jawa Barat dilaporkan adanya kasus kematian ayam ternak yang luar biasa. Awalnya kematian tersebut disebabkan oleh karena virus new castle, namun konfirmasi terakhir oleh Departemen Pertanian disebabkan oleh virus flu burung atau Avian influenza (AI). Jumlah unggas yang mati akibat wabah penyakit flu burung di 10 propinsi di Indonesia sangat besar yaitu 3.842.275 ekor (4,77%) dan yang paling tinggi jumlah kematiannya adalah propinsi Jawa Barat yang mencapai 1.541.427 ekor (Kristina dkk, 2004).

Avian influenza (AI) adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh virus dari famili orthomyxoviridae genus influenzavirus tipe A. Genus virus influenza sendiri terdiri dari beberapa tipe yaitu tipe A, B dan C. Virus influenza tipe A adalah virus influenza yang dapat menginfeksi beberapa jenis hewan termasuk unggas, babi, kuda, anjing laut dan ikan paus juga manusia. Virus influenza tipe B dan C lebih saring menyerang manusia dan sangat jarang pada hewan (Fenner, 1993).

Berdasarkan patogenisitasnya, AI dibagi menjadi AI patogenisitas tinggi (higly pathogenic avian influenza atau HPAI) dan AI patogenisitas rendah (low pathogenic avian influenza atau LPAI). Contoh galur virus AI yang termasuk HPAI adalah H5N1, yang akhir-akhir ini mewabah di negara-negara Asia Tenggara dan menyebabkan banyak kematian. Sedangkan yang termasuk LPAI misalnya galur H6N2. Selain pada unggas, virus AI juga dapat bertahan hidup pada spesies lain seperti tikus, babi, kuda dan lalat (Anonim, 2004a).

Etiologi

Avian influenza (AI) disebabkan oleh virus influenza yang tergolong famili Orthomyxoviridae, yang merupakan virus RNA dan mempunyai aktivitas hemaglutinin dan neuramidase. Virus influenza terdiri atas 3 tipe antigenik yang berbeda, yaitu A, B, dan C. Virus influenza A ditemukan pada unggas, manusia, babi, kuda, dan kadang-kadang pada mamalia lain, misalnya cerpelai, anjing laut dan ikan paus. Virus influenza B dan C hanya ditemukan pada manusia. Variasi antigenik pada virus influenza dapat ditemukan dengan frekuensi yang tinggi dan terjadi melalui 2 cara, yaitu drift dan shift. Drift antigenik terjadi oleh adanya perubahan struktur antigenik yang bersifat minor pada antigen permukaan H dan/atau N. Shift antigenik terjadi oleh adanya perubahan struktur antigenik yang bersifat dominan pada antigen permukaan H dan atau N (Tabbu, 2000).

Penyakit ini dapat muncul dalam beberapa bentuk yang berbeda yaitu tanda-tanda klinis yang umum dan parah, tanda-tanda klinis pada pernafasan dan ringan, dan tidak ada tanda-tanda klinis. Ayam, itik, angsa, ayam kalkun, ayam mutiara, burung puyuh, burung kuau, burung merpati, “burung penyanyi” dan banyak burung liar lainnya dapat dijangkiti oleh virus-virus ini. Bergantung kepada virus atau induk semangnya, ternak-ternak unggas tersebut akan atau tidak akan memperlihatkan tanda-tanda klinis (Anonim, 2005).

Virus influenza A pada manusia hanya terdapat jenis H1N1, H2N2, H3N3, H5N1, H9N2, H1N2, dan H7N7. Galur virus influenza yang sangat virulen/ganas dan menyebabkan flu burung adalah dari tipe A subtipe H5N1. Virus tersebut dapat bertahan hidup di air sampai 4 hari pada suhu 22 °C dan lebih dari 30 hari pada 0 °C. Virus akan mati pada pemanasan 60 °C selama 30 menit atau 56 °C selama 3 jam dan dengan detergent, desinfektan formalin, serta cairan yang mengandung iodin (Kristina dkk, 2004).

Infeksi pada ternak unggas oleh virus AI menimbulkan sindrom yang khas berupa infeksi asimptomatik pada respirasi, penurunan produksi telur pada kasus yang berat, dengan tingkat mortalitas yang dapat mencapai 100%. Virus penyakit influensa unggas umumnya dijumpai pada berbagai spesies burung liar. Pada hewan ini virus umumnya tidak menimbulkan gejala klinis sehingga ia dapat disebut sebagai carrier sekaligus sebagai sumber penularan. Virus AI dapat menimbulkan sindrom penyakit pernafasan pada ayam dan itik mulai dari tipe ringan sampai yang bersifat fatal. Selain menyerang organ pernafasan, virus juga dapat menyerang organ pencernaan dan sistem syaraf. Sebelum 2003 penyakit ini belum pernah dilaporkan terjadi di Indonesia (penyakit eksotik). Penyakit ini telah menimbulkan kematian yang sangat tinggi (hampir 90%) pada beberapa peternakan dan menyebabkan kerugian ekonomi bagi peternak, serta dapat mengancam kesehatan manusia (Anonim, 2004b).

Masa inkubasi AI pada unggas 1 minggu, pada manusia 1-3 hari , masa infeksi 1 hari sebelum sampai 3-5 hari sesudah timbul gejala. Pada anak sampai 21 hari (Kristina dkk, 2004). Masa inkubasi tersebut tergantung pada dosis virus, rute kontak dan spesies unggas yang terserang. Gejala penyakit sangat bervariasi dan tergantung pada spesies unggas yang terinfeksi, galur virus dan faktor lingkungan. Gejala yang terlihat dapat berbentuk gangguan pada saluran pernafasan, pencernaan, reproduksi atau sistem saraf (Tabbu, 2000).

Cara penularan

Avian influenza (AI) menular dari unggas ke unggas, melalui air liur, lendir dari hidung dan feses. Penyakit ini dapat menular melalui udara yang tercemar virus H5N1 yang berasal dari kotoran atau sekreta burung/unggas yang menderita AI (Kristina dkk, 2004).

Penularan AI dapat terjadi melalui kontak langsung antara ayam sakit dengan ayam yang peka. Ayam yang terinfeksi mengeluarkan virus dari saluran pernafasan, konjungtiva dan feses. Penularan dapat juga terjadi secara tidak langsung, misalnya melalui udara yang tercemar oleh material atau debu yang mengandung virus influenza, makanan atau minuman, alat atau perlengkapan peternakan, kandang, kurungan ayam, pakaian, kendaraan, peti telur, egg trays, burung, mamalia, dan insekta yang mengandung atau tercemar virus influenza. Sumber penularan virus influenza pada unggas adalah spesies unggas peliharaan lain, burung peliharaan, burung liar, dan hewan lain. Penularan virus AI secara vertikal (melalui telur) masih dipertanyakan, walaupun virus tersebut dapat diisolasi dari kerabang dan bagian dalam telur ayam yang terinfeksi oleh virus AI (Tabbu, 2000).

Gejala klinik

Sejumlah subtipe virus influenza A dapat menimbulkan penyakit yang parah pada spesies unggas tertentu, tetapi pada spesies unggas lainnya tidak menimbulkan penyakit tertentu atau penyakit yang timbul bersifat sangat ringan. Demikian juga, virus yang mempunyai struktur antigenik yang sama, dapat menimbulkan efek yang berbeda pada spesies unggas yang berbeda. Morbiditas dan mortalitas bervariasi tergantung pada spesies unggas, virus, umur, lingkungan (kadar amoniak, ventilasi) dan adanya infeksi sekunder. Morbiditas dapat sangat tinggi, tetapi sebaliknya mortalitasnya hanya rendah. Pada AI yang disebabkan oleh virus yang sangat patogenik, maka morbiditas dan mortalitas dapat mencapai 100%. Mortalitas biasanya meningkat antara 10-50 kali dari hari sebelumnya dan mencapai puncaknya pada hari ke-6 sampai ke-7 setelah timbulnya gejala (Tabbu, 2000).

Gejala AI dapat dibedakan pada unggas dan manusia. Gejala pada unggas yaitu jengger berwarna biru, borok di kaki, dan kematian mendadak. Gejala pada manusia yaitu demam (suhu badan di atas 38 °C), batuk dan nyeri tenggorokan, radang saluran pernapasan atas, pneumoni, infeksi mata, dan nyeri otot (Kristina dkk, 2004).

Tanda-tanda klinis sangat bervariasi, dan dipengaruhi oleh faktor lain seperti jenis virus yang menginfeksinya, jenis unggas yang terinfeksi, umur unggas, penyakit-penyakit lain yang ada pada saat itu, dan lingkungannya. Penyakit muncul tiba-tiba pada sekelompok unggas dan banyak unggas yang mati, bisa dengan sangat cepat tanpa menunjukkan tanda-tanda sakit atau dengan hanya menunjukkan sedikit depresi, hilang nafsu makan, bulu rontok dan suhu badan tinggi. Unggas lainnya menunjukkan kondisi yang lemah dan jalannya sempoyongan. Unggas yang sakit seringkali duduk atau berdiri dalam keadaan setengah tidur atau mengantuk dengan kepala menyentuh tanah. Beberapa hewan, khususnya unggas yang masih muda memperlihatkan tanda-tanda sakit pada syaraf. Ayam betina yang mulai bertelur, cangkang telurnya tipis, dan kemudian segera berhenti bertelur. Jengger dan pial berwarna merah kehitaman sampai biru dan bengkak, dan dapat juga disertai pendarahan yang kental pada ujung-ujungnya. Diare banyak dan seringkali muncul, nafas cepat dan sulit, pendarahan bisa terjadi pada daerah kulit yang tidak ditumbuhi bulu, khususnya tulang kering pada kaki. Laju kematian bervariasi, dari 50% sampai 100%, sedikitnya setengah dari ternak unggas mati. Pada kalkun, penyakitnya mirip dengan yang menyerang pada ayam petelur, tetapi berlangsung 2 atau 3 hari lebih lama. Kadang-kadang kelopak mata dan rongga hidung bengkak. Pada itik dan angsa peliharaan, tanda-tanda depresi, sedikit makan dan diare yang terjadi, mirip dengan yang terjadi pada ayam petelur, walaupun seringkali dikaitkan dengan pembengkakan sinus/rongga hidung. Itik yang terinfeksi AI mengeluarkan kotoran yang mengandung virus, bisa tidak menunjukkan tanda-tanda klinis atau luka (Anonim, 2005).

Diagnosis

Diagnosis terhadap kasus AI dapat ditegakkan dengan jalan melihat gejala-gejala dan tanda-tanda klinis serta dari hasil pemeriksaan laboratorium. Sampel yang sering digunakan untuk pemeriksaan laboratorium adalah darah (serum), usap tenggorokan, bilas tenggorokan, usap hidung dan usap kloaka. Uji laboratorium yang digunakan adalah uji hambatan hemaglutinasi (HI) untuk melihat kenaikan titer antibodi, polimerase chain reaction (PCR) untuk memastikan virus A (H5N1) dan isolasi virus (Suroso, 2004).

Menurut Chairman, et al., (1989) isolasi virus dapat dilakukan dari eksudat saluran respirasi (trakea, paru, air sac dan sinus) dan saluran pencernakan selain itu juga dapat diisolasi dari organ hati, lien ataupu dari darah. Untuk identifikasi virusnya dilakukan dengan uji HA, HI dan AGP test. Menurut Akoso (1999) spesimen untuk isolasi virus AI dapat diperoleh dari jaringan paru, kantung udara, usus, limpa, otak, hati, jantung, swab cloaca, hidung dan feses dalam media transfor. Media untuk identifikasi menggunakan uji Agar Gel Presipitat (AGP), Hemaglutinasi (HA) dan Hemaglutinasi Inhibisi (HI).

Diagnosis AI sesungguhnya tidaklah sesulit yang dibayangkan banyak orang. Gejala AI pada unggas dapat dikenali melalui gejala-gejala gangguan pernafasan dan yang paling menciri adalah terjadinya tingkat kematian unggas yang tinggi dan berlangsung dalam waktu yang relatif singkat. Jika hanya berdasarkan gejala penyakit saja, kita dapat salah dalam mendiagnosa AI dengan penyakit pernafasan unggas lainnya, terutama ND yang memiliki kemiripan gejala dan tingkat kematian. Oleh karena itu, diperlukan pemeriksaan laboratorium untuk meneguhkan diagnosis klinis tersebut. Teknik-teknik diagnosis konvensional yang diberlakukan pada diagnosis ND dapat diterapkan pada AI meliputi antara lain uji HI, dan uji netralisasi untuk membuktikan adanya antibodi dalam darah unggas bersangkutan. Sampel yang digunakan untuk pemeriksaan laboratorium adalah darah (serum), usap tenggorokan, bilas tenggorokan dan usap hidung. Sedangkan untuk isolasi dan identifikasi virus dapat dipergunakan teknik inokulasi telur ayam bertunas, dan yang paling cepat adalah teknik PCR. Jika antigen virus AI tersedia, maka teknik diagnosis konvensional dapat secara mudah dikerjakan di laboratorium yang memiliki peralatan yang sederhana sekalipun (Sanam, 2004).

Penelitian tentang deteksi respon antibodi dengan uji HI dan titer proteksi terhadap virus AI subtipe H5N1 telah dilaksanakan di Balai Penelitian Veteriner. Penelitian ini telah berhasil menetapkan titer proteksi ayam kampung dan burung puyuh terhadap infeksi virus AI subtipe H5N1 isolat lapang sehingga diharapkan dapat dimanfaatkan untuk menganalisis hasil pelaksanaan program vaksinasi dalam rangka eradikasi AI di Indonesia (Damayanti dkk, 2004b).

Deteksi virus AI subtipe H5N1 pada organ ayam yang terserang AI sangat patogenik di Jawa Timur dan Jawa Barat telah dilakukan dengan teknik imunohistokimia. Penelitian ini dilakukan untuk mendeteksi antigen virus H5N1 yang menyebabkan wabah HPAI pada sejumlah peternakan ayam di Jawa Timur dan Jawa Barat. Metode ini dipakai karena dengan pewarnaan histopatologi konvensional, yakni hematoksilin-eosin (H&E), antigen tersebut tidak dapat dideteksi pada jaringan organ. Teknik pewarnaan imunohistokimia ini diaplikasikan terhadap sejumlah organ ayam yang dikoleksi dari peternakan di Jawa Timur dan Jawa Barat, pada saat terjadi wabah HPAI pada bulan September–Oktober 2003. Sejumlah spesimen organ ayam diproses sebagai preparat histopatologi dan jaringan organ yang diduga mengandung virus AI direaksikan dengan antisera kelinci anti H5N1 dan avidin biotin peroxidase complex. Antigen yang terdapat pada jaringan organ ayam dapat divisualisasikan dengan penambahan pewarna/substrat amino ethyl carbazole (AEC) yang menghasilkan warna coklat kemerahan. Teknik pewarnaan ini terbukti sangat cepat dan akurat untuk mengonfirmasi diagnosis pada preparat histopatologi dan membuktikan bahwa hewan terinfeksi oleh virus AI galur H5N1. Dari kedua lokasi wabah di Jawa Barat maupun Jawa Timur, antigen H5N1 dapat dideteksi dengan sangat jelas pada kulit pial, jengger dan kaki, otak, trakhea, paru, jantung, proventrikulus, hati, limpa, ginjal dan ovarium (Damayanti dkk, 2004b).

Highly pathogenic avian influenza (HPAI) sulit sekali dibedakan dari penyakit lain yang menyebabkan kematian tinggi yang tiba-tiba seperti ND yang ganas, keracunan akut, penyakit lain yang menyebabkan pembengkakan pada jengger dan pial seperti kolera unggas akut dan penyakit infeksi lainnya atau infeksi bakteri pada jengger dan pial (Anonim, 2005).




Referensi
Anonim. 2004a. Wabah Flu Burung Perunggasan Asia Dalam Ancaman. Poultry Indonesia. edisi Februari 2004.

Anonim. 2004b. Lampiran I Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Peternakan Nomor 17/Kpts/Pd.640/F/02.04 Tanggal 4 Pebruari 2004 Tentang Pedoman Pencegahan, Pengendalian Dan Pemberantasan Penyakit Hewan Menular Influensa Pada Unggas ( Avian Influenza ). Ditjen Bina Produksi Peternakan, Departemen Pertanian RI, Jakarta.

Anonim. 2005. Pencegahan dan Pengendalian Flu Burung (Avian Influenza) pada Peternakan Unggas Skala Kecil. Buku Petunjuk bagi Paramedik Veteriner. Food And Agriculture Organization Bekerjasama Dengan Agronomes & Vétérinaires Sans Frontières (Vsf-Cicda) Departemen Kesehatan Ternak (Kerajaan Kamboja). (http://www.fao.org/ag/AGAinfo/subjects/documents/ai/AI_GuideIndonesia.pdf)

Akoso, B.T. 1993. Manual Kesehatan Unggas Panduan Bagi Petugas Teknis Penyuluh dan Peternak. Cetakan pertama. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Hal 107-109.

Akoso, B.T. 1999. Manual Standar Metode Diagnosa Laboratorium Kesehatan Hewan. Departemen Pertanian .Jakarta, Hal 391-396.

Akoso, B.T. 2002. Kesehatan Unggas. Cetakan kelima. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Hal 91,92;130-133.

Atlas, R. M., 1995, Handbooks of Microbiological Media. 2nd edition., CRC Press. Ed Lawrence. C. Parrks.

Benjamin, M.M. 1978. Outline of Veterinary Clinical Pathology. The Iowa State University Press. Iowa.

Biester. H. E., and Schwarte. L. H., 1952. Disease of Poultry. Ames. Iowa. THE IOWA STATE COLLAGE PRESS. Pp: 431 – 433.

Calnek. B. W., Barnes. H. J., Beard.C. W., Mc Dougald. L. R.,Saif. Y. M. S.,, 1997, Disease of Poultry, Ninth Edition, Iowa State University Press Ames Iowa, USA. Pp : 131-142, 865-882.

Chairman, , 1989, A Laboratory Manual For Isolation And Identification of Avian Pathogen. Third Edition. The American Association of Avian Pathologists Kendall Publishing Company, Dubuque, Iowa, 3 – 13

Coles, E.H., 1986. Veterinary Clinical Pathology. 4th ed., W.B. Sounders Company, Philadelphia, London, Toronto: 30-45

Damayanti, R., N.L.P.I. Dharmayanti, R. Indriani, A. Wiyono dan Darminto. 2004b. Gambaran klinis dan patologis ayam yang terserang flu burung sangat patogenik (HPAI) di beberapa peternakan di Jawa Timur dan Jawa Barat. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 9(2): 128-135.

Feldman, B.F., Zinkl, J. G. and Jain, N.C. 2000. Schalms Veterinary Hematology, Fifth Edition Lippincott Williams and Wilkins, Pennsylvania. Pp : 1161-1163

Fenner, F.J., Gibbs. E. P., Murphy. F. A., Rott. R., Studdert. M. J., White. D. O.,1993. Veterinary Virologi, 2nd ed. Academic Press, Inc. London, Sydney, Tokyo, Toronto. Hal: 385 – 389.

Hariono, B., 1993, Hematologi, Buku Pedoman Patologi Klinik, Laboratorium Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Holfstad, M.S. 1984. Disease of Poultry. Iowa State University Press, Ames, Iowa, USA. Pp: 692- 716.

Jain, N. C.and A. H., Caroll. E. J., Schalm. O. W., 1986. Veterinary Hematology, 4th ed.Lea and Febiger Philadelphia: 209,236-238,676-790

Kristina, Isminah, L. Wulandari I. 2004. Flu Burung
(http://id.wikipedia.org/wiki/Flu_burung)

Levine, N.D., 1995, Protozology Veteriner, diterjemahkan oleh Soeprapto, S., Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.Hal: 265, 317-323.

Rahardjo, Y., 2004. Avian Influenza : Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasannya. Gita Pustaka. Jakarta. Hal. 63 – 84

Sanam, M.U.E. 2004. Flu burung: suatu tinjauan epidemiologis. Laboratorium dan Penyakit Ternak, Fapet Undana.
(http://www.indomedia.com/poskup/2004/02/06/edisi06/0502pin1.htm)
.
Suroso, T. 2004. Infeksi dan Bahaya Flu Burung pada Kesehatan Manusia.
(http://www.poultryindonesia.com/modules.php?name=News&file=article)

Tabbu, Charles R, 2000;2002. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya. Edisi Ke-1 dan Ke-2. Penerbit Kanisius Yogyakarta. Edisi Ke-1 Hal : 31-51, 232-245; Edisi Ke-2 Hal : 3-27.